FILSAFAT ILMU SEBUAH PENGANTAR
M A K A L A H
Dibuat Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Mata Kuliah Filsafat Sains dan Teknologi Pada Prog. Magister Administrasi Pendidikan Angkatan XVII
Dosen Materi : DR. H. A. Nurhamid Sayuti, M. Sc
Di susun oleh :
Maryono
NPM : 20054350124
Teknik Informatika
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
JAKARTA
2005
Ilmu dan Filsafat
Alkisah bertanyalah seorang awam kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana, “Coba sebutkan kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuan!”
Filsub itu menarik nafas panjang dan berpantun :
ada orang yang tahu ditahunya
ada orang yang tahu di tidaktahunya
ada orang yang tidak tahu ditahunya
ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya.
“Bagaimanakah cara agar saya mendapat pengetahuan yang benar” sabung orang awam itu; penuh hasrat dalam ketidak tahuannya.
“Mudah saja” jawab filsub itu ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.
Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan keduanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.
Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang kepada diri kita sendiri: Apakah sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu? Apakah ciri-cirinya yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengatahuan-pengetahuan lainnya yang bukan ilmu? Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar? Kriteria apa yang kita pakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah? Mengapa kita mesti mempelajari ilmu?
Apakah kegunaan yang sebenarnya?
Demikian juga berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui : Apakah ilmu telah mencakup segenap pengetahuan yang seyogyanya saya ketahui dalam kehidupan ini? Di batas manakah ilmu mulai dan di batas manakah dia berhenti? Kemanakah saya harus berpaling di batas ketidaktahuan ini? Apakah kelebihan dan kekurangan ilmu? (Mengetahui kekurangan bukakan berarti merendahkanmu, namun secara sadar memanfatkan, untuk terlebih jujur dalam mencintaimu?
Apakah Filsafat?
Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berfikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari lulusan IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuwan memandang rendah kepada pengatahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama dan nilai estetika. Mereka, para ahli yang berada di bawah tempurung disiplin keilmuannya masing-masing, sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan tercengang: Lho, kok masih ada langit lain di luar tempurung kita. Dan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri. Yang saya tahu, simpul Sokrates, ialah bahwa saya tak tahu apa-apa!
Kerendahhati Sokrates ini bukanlah verbalisme yang sekadar basa-basi. Seorang yang berpikir filsafat selain tengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafati yang kedua takni sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan pun sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar?
“Ah, Horatio,” desis Hamlet, “masih banyak lagi di langit dan di bumi, selain yang terjaring dalam filsafatmu.” Memang demikian, secara terus terang tidak mungkin kita menangguk pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkan kita tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam hal ini kita hanya bersepekulasi dan inilah yang merupakan ciri filsafat yang ketiga yakni sifat spekulatif. Kita mulai mengernyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat: bukankah spekulasi ini suatu dasar yang tidak bisa diadakan? Dan seorang filsuf akan menjawab: memang namun hal ini tidak bisa dihindarkan. Menyusur sebuah lingkaran kita harus mulai dari sebuh titik bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis? Apakah yang disebut benar? Apakah yang disebut sahih? Apakah alam ini teratur atau kacau? Apakah hidup ini ada tujuannya atau absurd? Adakah hukum yang mengatur alam dan segenap sarwa kehidupan?
Sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek tidak mungkin kita berbicara tantang kesenian.
Filsafat: Peneratas Pengetahuan
Filsafat, meminjam pemikiran Will Durant, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri ini adalah sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu ilmu yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka filsafat pun pergi. Dia kembali menjelajahi laut lepas; berspekulasi dan meneratas. Seorang yang skeptis akan berkata; sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat namun selangkah pun dia tidak maju. Sepintas lalu kelihatannya memang demikian, dan kesalahanpun ini dapat segera dihilangkan, sekitarnya kita sadar bahwa filsafat adalah marinir yang merupakan pionir, bukan pengetahuan yang bersifat memerinci. Filsafat menyerahkan daerah yang sudah dimenangkannya kepada ilmu pengatahuan-pengetahuan lainnya. Semua ilmu, baik ilmu-ilmu alam pengetahuan-pengetahuan lainnya. Semua ilmu, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, bertolak dari pengembangannya bermula sebagai filsafat. Issac Newton (1942-1627) menulis hukum-hukum fisikanya sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1986) dan Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural phisolophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu maka terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang penjelajahan filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Di sini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan melainkan dikaitkan dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi. Walaupun demikian dalam taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan kepada norma-norma filsafat. Umpamanya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethics) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif berdasarkan asas-asa moral yang filsafati. Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan mendasarkan sepenuhnya kepada hakikat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan ilmu masih mendasarkan kepada norma yang seharusnya, sedangkan dalam tapah terakhir ini, ilmu mendasarkan kepada penemuan alamiah sebagaimana adanya. Dalam menyusun pengetahuan tentang alam dan isinya ini maka manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif dengan jembatan yang berupa pengajuan hipotesis yang dikenal sebagai metode logico-hypothetico-verifikatif. “Tiap ilmu dimulai dengan filsafat dan diakhiri dengans eni,” ujar Will Durant, “muncul dalam hopitesis dan berkembang ke keberhasilan.” Auguste Comte (1798-1857) membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan tersebut di atas ke dalam tahap relogius, metafisik dan positif. Dalam tahap pertama maka asas religius yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabatan dari ajaran religi. Tahap kedua orang mulai berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi obyek penelaahan yang bertugas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postular metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) di mana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif.
Bidang Telaah Filsafat
Apakah yang sebenarnya ditelaah filsafat?
Selarasa dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok: terjawab masalah yang satu, dia pun mulai merambah pertanyaan lain. Tentu saja tiap kurun zaman mempunyai masalah yang merupakan mode pada waktu itu. Filsafat yang sedang pop dewasa ini mungkin mengenai UFO: apakah Cuma kita satu-satunya “manusia” yang menghuni semesta ini? Bacalah buku Carl Sagan yang berjudul The Cosmic Connection. Sebagai hiburan di waktu senggang setelah membaca buku filsafat ini. Hari ini selaras dengan usaha peningkatan kemampuan penalaran maka filsafat ilmu menjadi “ngetop”, sedangkan dalam masa-masa mendatang maka yang akan menjadi perhatian kemungkinan besar bukan lagi filsafat ilmu, melainkan filsafat moral yang berkaitan dengan ilmu.
Seorang profesor yang penuh humor mendekat permasalahan yang dikaji filsafat dengan sajak di bawah ini:
Maksudnya adalah bahwa pada tahap mula sekali, filsafat mempersoalkan siapakah manusia itu: Hallo, siapa kau? Tahap ini dapat dihubungkan dengan segenap pemikiran ahli-ahli filsafat sejak zaman Yunani Kuno sampai sekarang yang rupa-rupanya tak kunjung selesai mempermasalahkan makhluk yang satu ini. Kadang kurang disadari bahwa tiap ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial, mempunyai asumsi tertentu tentang manusia yang menjadi lakon utama dalam kajian keilmuannya. Mungkin ada baiknya kita mengambil contoh yang agak berdekatan yakni ilmu ekonomi dan manajemen. Kedua ilmu ini mempunyai asumsi tentang manusia yang berbeda. Ilmu ekonomi mempunyai asumsi bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang bertujuan mencari kenikmatan sebesar-besarnya dan menjauhi ketidaknyamanan semungkin bisa. Dia adalah makhluk hedonis yang serakah; atau dalam proposisi ilmiah; mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbana sekecil-kecilnya. Sedang ilmu manajemen mempunyai asumsi lain tentang manusia sebab bidang telaah ilmu manajemen lain dengan lain ekonomi. Ilmu ekonomi bertujuan menelaah hubungan manusia dengan benda/jasa yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya; dan manajemen bertujuan menelaah kerja sama antarsesama manusia dalam mencapai suatu tujuan yang disetujui bersama. Cocoklah asumsi bahwa manusia adalah Homo oeconomicus bagi manajemen yang tujuannya menelaah kerja sama antarmanusia? Apakah motif ekonomis yang mendorong seseorang untuk ikut menjadi sukarelawan memberantas kemiskinan dan kebodohan? Tentu saja tidak, bukan, dan untuk itu manajemen mempunyai beberapa asumsi tentang manusia tergantung dari perkembangan dan lingkungan masing-masing seperti makhluk ekonomi, makhluk sosial dan makhluk aktualisasi diri. Mengkaji permasalahan manajemen dengan asumsi manusia dalam kegiatan ekonomis akan menyebabkan kekacauan dalam analisis yang bersifat akademik. Demikian pula mengkaji permasalahan ekonomi dengan asumsi manusia yang lain di luar makhluk ekonomi (katakanlah makhluk sosial seperti asumsi dalam manajemen); akan menjadikan ilmu ekonomi menjadi moral terapan, mundur, sekian ratus ke abad pertengahan. Sayang, bukan? The right (assumption of man on the right place; mungkin kalimat ini harus kita gantung di tiap pintu masing-masing disiplin keilmuan.
Tahap yang kedua adalah pertanyaan yang berkisar tentang ada: tentang hidup dan eksistensi manusia.
Apakag hidup ini sebenarnya? Apakah hidup itu sekadar peluang dengan nasib yang melempar dadu acak? (Bila asumsi Tuhan itu adil maka penciptaan haruslah diacak!); dan nasib adalah bagaikan sibernetik dengan umpan balik pilihan probabilistik. Atau hidup ini sama sekali absurd, tanpa arah tanpa bentuk, bagaikan amuba yang berzigzag?
Atau barangkali suatu maksud, pikir Bruder Juniper dalam sastra klasik The Brudge of San Luis Rey yang termasyur, ketika dua abad berselang jembatan yang paling indah di seluruh Peru ambruk, dan melemparkan lima orang ke jurang yang dalam. Adalah sangat sukar untuk mengetahui kehendak Tuhan, namun sama sekali tidak berarti bahwa hal ini tidak akan pernah bisa kita ketahui, dan mengatakan bahwa Tuhan terhadap kita adalah bagaikan lalat yang dibunuh kanak-kanak pada suatu hari di musim panas.
Dengan nasib jadi penyalib yang kejam
memaku:
mimpi, harapan, kasih sayang;
cemas, bimbang, rengkah
nafsu;
di atas kayu silang?
Ah, spekulasi macam begini hanya omong kosong percuma yang buang waktu saja, mungkin seorang ilmuwan berkata, sama sekali tidak ada hubungannya dengan permasalahan keilmuan saya (Dikiranya ilmu itu rumus-rumus, laboratorium; itu saja!) dan ketika laboratorium riset genetika menghasilkan penemuan yang menyangkut hari depan manusia, akankah dia Cuma mengangkat bahu: Mengapa ribut-ribut? Bikin ada ahli teknologi yang memandang rendah bahasa maka kemungkinan besar dia sudah terlalu jauh ketinggalan kereta. Semoga ilmuwan ini tidak bertemu dengan orang pekak yang mengengkelkan itu; yang tanpa timbang rasa melemparkan segerobak pendapat kita ke tempat pembuangan sampah. Hancur jadi abu!
“Masalah utama dengan disertasi Saudara,” kata seorang penguji kepada seorang promovendus, “ialah bahwa Suadara berlaku sebagai seorang pemborong bahan bangunan dan bukan arsitek yang membangun rumah. Memang batanya banyak sekali, bertumpuk di sana sini, namun tidak merupakan dinding; kayu menumpuk sekian meter kubik namun tidak merupakan atap. Sebagai ilmuwan Saudara harus membangun kerangka dengan bahan-bahan tersebut, kerangka pemikian yang orisinal dan meyakinkan, disemen oleh penalaran dan pembuktian yang tidak meragukan ...”
Ah, daripada disebut pemborong bahan bangunan, lebih baik cape sedikit belajar lagi, bisik seorang penelitian yang sedang mempersiapkan di sertainya. Memang, lebih baik mengasah barang, daripada sekian ratus halaman dari disertai kita dibuang orang. (Maaf, perang itu maksudnya untuk memberantas ilalang, dan bukan menambas orang!).
Cabang-cabang Filsafat
Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang utama filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; dan, kedua; politik: yakni kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal. Kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup:
1) Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
2) Etika (Filsafat Moral)
3) Estetika (Filsafat Seni)
4) Metafisika
5) Politik (Filsafat Pemerintahan)
6) Filsafat Agama
7) Filsafat Ilmu
8) Filsafat Pendidikan
9) Filsafat Hukum
10)Filsafat Sejarah
11)Filsafat Matematika
Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosail, dan tidak mecirikan cabang filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti:
Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/teknik/saran apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengatahuan yang berupa ilmu?
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok pertanyaan yang pertama disebut landasan ontologis; kelompok yang kedua adalah epistemologis; dan kelompok ketiga adalah aksiologis. Semua pengetahuan apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja pada dasarnya mempunyai ketiga landasan ini. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan dari ketiga aspek ini diperkembangkan dan dilaksanakan. Dari semua pengetahuan maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin. Dari pengertian inilah sebenarnya berkembang pengertian ilmu sebagai disiplin yakni pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhannya.
Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan termaksud dipergunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita tidak dapat memanfaatkan kegunaannnya secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu dikacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agam, bukankah tak ada narki yang lebih menyedihkan dari itu?
Elementary, my dear Watson, ujar penyelidik Sherlock Holmes, Elementary!
Kerangka Pengkajian Buku
Buku ini merupakan pengantar kepada filsafat ilmu yang ditulis secara popular. Tidak semua materi yang seharusnya tercakup dalam sebuah kajian filsafat ilmu dibahas dalam buku ini. Sengaja dipilih hanya beberapa persoalan pokok yang seharusnya diketahui pada tahap elementer. Pembahasan ini ditujukan kepada orang awam yang ingin mengetahui aspek kefilsafatan dari bidang keilmuan dan bukan ditujukan kepada mereka yang menjadikan filsafat ilmu suatu bidang keahlian.
Pada dasarnya buku ini mencoba membahas aspek onologis, epistemologis dan aksiologis keilmuan sambil membandingkannya dengan beberapa pengetahuan lain. Dalam kaitan-kaitan ini akan dikaji hakikat beberapa sarana berpikir ilmiah yakni, bahasa, logika, matematika dan statistika. Setelah itu dibahas beberapa aspek yang berkaitan erat dengan kegiatan keilmuan seperti aspek moral, sosial, pendidikan dan kebudayaan. Akhirnya buku ini ditutup dengan pembahasan mengenai struktur penelitian dan penulisan ilmiah dengan harapan agar dapat membantu mereka yang berkarya dalam bidang keilmuan.
Tujuan utama dari buku yang bersifat pengantar ini bukanlah pendalaman yang bersifat teknis melainkan pengenalan secara menyeluruh. Pembahasannya dilakukan secara populer dengan menjauhkan semungkin bisa aspek-aspek teknis yang terlalu sukar untuk dicerna dalam sebuah buku yang bersifat pengantar. Salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh penerbitan buku ini ialah agar masyarakat tergerak hatinya untuk mencintai filsafat. Wajah filsafat yang biasanya kelihatan angker ingin dicoba diubah menjadi santai dan menyenangkan.
Materi filsafat ilmu yang terkandung dalam buku ini merupakan kompromi ekletik dari berbagai aliran yang hidup dalam pemikiran filsafat. Titik berat oembahasan diletakkan pada kesamaan yang terdapat dalam berbagai aliran tersebut dan bukan pada perbedaannya. Tema pokok dari filsafat ilmulah yang ingin dikemukakan dalam buku ini dan bukan variasi-variasi yang berkembang sekitar tema pokok tersebut. Untuk pembahasan filsafat yang bersifat mengantar ini, pendekatan tersebut mungkin dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk semua itulah maka buku ini dipersembahkan dengan segala kekurangannya. Dengan isi yang sederhana dan kata-kata yang bersahaja semoga buku ini memberi manfaat sekadar: menyingkap tanir filsafat menjenguk isi relungnya.
Ah, sekiranya filsafat
Bisa dekat dengan kehidupan kita
Dalam senda gurau dan kesungguhan
Menatap bianglala!