Elemen-elemen pembangunan prosa fiksi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu fakta cerita, sarana cerita, dan tema. Fakta cerita merupakan hal-hal yang akan diceritakan di dalam sebuah karya fiksi. Fakta cerita meliputi plot, tokoh, dan latar.
Hakikat Flot
Seorang penulis cerita harus menciptakan plot atau alur bagi ceritanya itu. Hal ini berarti bahwa plot atau alur cerita sebuah fiksi menyajikan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian kepada pembaca tidak hanya dalam sifat kewaktuan atau temporalnya, tetapi juga dalam hubungan-hubungan yang sudah diperhitungkan. Dengan demikian, plot sebuah cerita akan membuat pembaca sadar terhadap peristiwa-peristiwa yang dihadapi atau dibacanya, tidak hanya sebagai subelemen-elemen yang jalin-menjalin dalam rangkaian temporal, tetapi juga sebagai suatu pola yang majemuk dan memiliki hubungan kausalitas atau sebab akibat.
Struktur sebuah fiksi dapat dibagi secara kasar menjadi tiga bagian yaitu awal, tengah, dan akhir. Akan tetapi, jika kita sadari bahwa masing-masing penulis memiliki preterensi tertentu dalam menyusun ceritanya, pembagian global tersebut dapat dispesifikan lagi. Struktur plot dapat dirincikan lagi ke dalam bagian-bagian kecil lainnya.
Bisa saja awal sebuah novel tertentu pada dasarnya merupakan bagian tengah atau akhir peristiwa novel yang sesungguhnya, demikian seterusnya, tengah bisa merupakan akhir dan akhir bisa merupakan awal atau tengah cerita. Jadi permasalahan yang menyangkut awal-tengah-akhir cerita lebih merupakan soal gaya atau teknik bercerita yang boleh jadi sangat personal sifatnya, merupakan private domain. Dalam kaitan ini masing-masing pengarang memiliki ciri sendiri-sendiri, memiliki idiosinkrasinya masing-masing.
Awal
Dalam kaitannya dengan bagian awal cerita dan pilihan penulis untuk menentukan bagian awal ceritanya itu, ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan, yakni kemugkinan-kemungkinan yang terkait dengannya.
Pertama, bagian awal atau tepatnya aliniea pertama sebuah fiksi boleh jadi merupakan pilihan terakhir yang dilakukan oleh pengarang. Artinya, seorang pengarang mungkin saja melakukan penulisan berulang kali terhadap bagian awal ceritanya. Penulisan yang akhirnya diekspresikan pada bagian awal cerita tentu saja yang dianggap paling tepat guna merambah jalan bagi penulisan bagian-bagian selanjutnya. Kedua, peristiwa awal boleh jadi merupakan peristiwa yang terkait erat dengan karakter tokoh utama; atau peristiwa di luar karakter tokoh utama, tetapi peristiwa itu merupakan mata rantai pertama bagi peristiwa-peristiwa yang berkausalitas. Ketiga, peristiwa awal merupakan penggambaran khusus tentang konflik yang akan berbuntut pada peristiwa berikutnya dan hal itu diletakkan dalam latar tertentu. Keempat, bagian awal berupa sebuah peristiwa besar dalam latar tertentu dan ia mengandung konflik tententu pula. Kelima, bagian awal merupakan suatu peristiwa kecil yang berguna untuk melukiskan watak tokoh dan untuk menginformasikan sesuatu kepada pembaca dalam rangka memahami bagian awal itu dan memahami novel secara keseluruhan. Keenam, bagian awal merupakan introduksi tokoh utama atau tokoh yang dipandang penting dalam keseluruhan cerita, baik dengan teknik analitik maupun dramatik, baik secara telling maupun showing. Ketujuh, bagian awal merupakan hal yang mengarahkan pembaca pada teknik yang dipakai, baik teknik diaan, akuan, atau campuran antara keduanya. Kedelapan, bagian awal merupakan deskripsi dan narasi tententu. Kesembilan bagian awal merupakan informasi tempat, waktu, dan sosial budaya tententu. Kesepuluh, bagian awal merupakan komplikasi yang akan mengarahkan atau membangkitkan minat tertentu pada diri pembaca.konplikasi itu dapat bersifat mayor atau minor, internal atan eksternal.
Tengah
Sesungguhnya pembagian kasar struktur plot novel menjadi awal, tengah, dan akhir tidaklah dapat dilakukan secara pilah benar karena sebagai sebuah strktur, elemen-elemen pembangun novel jalin-menjalin dalam bentuk sosok struktural itu. Oleh karen aitu, akhir bagian awal dapat dipandang sebagai awal bagian tengah, sedangkan akhir bagian tengah dapat dipandang sebagai awal bagian akhir. Jadi, kemungkinan-kemungkinan yang diperkirakan dapat menjadi awal cerita, sangat boleh jadi merupakan awal dari tengah.
Konflik dalam suatu cerita dapat dipastikan bersumber pada kehidupan. Oleh karena itu, pembaca dapat terlihat secara emosional terhadap apa yang terjadi dalam cerita. Pembaca bukan semata-mata sebagia penonton yang menyaksikan peristiwa demi peristiwa atau dengan demi adegan dalam cerita, tetapi ia pun dibangkitkan emosional untuk kemudian dibawa kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Konflik dalam cerita biasanya dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, konflik dalam diri seseorang (tokoh). Konflik jenis ini sering disebut psychological conflict ‘konflik kejiwaan, yang biasanya berupa perjuangan seorang tokoh dalam melawan dirinya sendiri, sehingga dapat mengatasi dan menentukan apa yang akan dilakukannya. Kedua, konflik antara orang-orang atau seseorang dan masyarakat. Konflik jenis ini sering disebut social conflict ‘konflik sosial’, yang biasanya berupa konflik tokoh, dalam kaitannya dengan permasalahan-permasalahan sosial. Masalah-masalah sosial merupakan masalah yang kompleks.
Ketiga, konflik antara manusia dan alam. Konflik jenis ini sering disebut sebagai physical or element conflict’ konflik alamiah’, yang biasanya muncul tatkala tokoh tidak dapat menguasai dan atau memanfaatkan serta membudayakan alam sekitar sebagaimana mestinya. Apabila dterminasi terhadap alam tidak dapat dilakukan, terjadi disharmoni atau ketidak serasian hubungan manusia dan alam sekitarnya, kemudian terjadilah konflik itu.
Selanjutnya disamping terdapat adanya konflik, dalam bagian tengah plot cerita didapatkan pula adanya komplikasi dan klimaks. Komplikasi merupakan perkembangan konflik permulaan, atau konflik permulaan yang bergerak dalam mencapai klimaks,
Komplikasi dalam cerita memiliki fungsi penting karena tanpa komplikasi yang cukup, konfliknya juga akan menjadi lebih lambat dan kurang ‘merangsang’, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang diharapkan pun sulit terwujudkan. Komplikasi bagi seorang pengarang berfungsi untuk mengendalikan bagaimana secara berangsur-angsur pengarang itu mempertimbangkan intensitas naratifnya, dan dengan demikian menyiapkapkan pembaca untuk menerima benturan yang penuh
Akhir
Jika pada bagian tengah plot terdapat komplikasi dan klimaks sebagai akibat adanya konflik atau sebagai pengembangan konflik tententu, bagian akhir terdiri dari segala sesuatu yang berasal dari klimaks menuju ke pemecahan (donoument) atau hasil ceritanya.
Jadi, apabila digambarkan, bagian-bagian plot akan seperti (kurang lebih) berikut ini:
Gambar skema
Kaidah-kaidah Plot
Dalam membentuk alur cerita seorang pengarang biasanya atau dapat kita harapkan mengikuti kaidah-kaidah pengaluran (ploting) tertentu. Yang dimaksud dengan kaidah alur dalam hubungan ini lebih merupakan generalisasi yang diambil dan kenyataan-kenyataan praktis yang umum dilakukan oleh penulis-penulis (besar) sepanjang zaman dalam membentuk alur cerita karya yang mereka hasilkan.
Kemasukakalan
Pausibilitas (kemasukakalan) merupakan satu diantara kaidah-kaidah yang penting yang mengatur alur dalam fiksi. Tentu saja kemasukakalan dalam kaitan ini merupakan kemasukakalan yang dimiliki dalam kaitan dalam dan oleh cerita itu.
Sesuatu cerita dikatakan masuk akal apabila cerita itu memiliki kebenaran, yaitu benar bagi diri cerita itu sendiri.
Kejutan
Di atas sudah dikemukakan bahwa kemasukakalan menunjukkan adanya kebenaran cerita bagi dirinya sendiri. Akan tetapi, suatu cerita yang tidak pernah mengejutkan tidak menimbulkan surprise, sudah barang tentu akan mejemukan. Oleh karen aitu, di samping masuk akal, cerita seharusnya juga memberikan kejutan tententu. Kejutan itu sendiri dalam keseluruhan cerita dapat berfungsi bermacam-macam misalnya untuk memperlambat tercapainya klimaks atau sebaliknya untuk mempercapat tercapainya klimaks. Akan tetaopi, bagaimana kaitan antara masuk akal di satu pihak dan kejutan di pihak yang lain. Bagaimana kedua hal yang tuntutannya berbeda itu menjadi satu dalam keseluruhan plot cerita.
Suspense
Di samping plausibilitas dan surprise, kaidah yang mengatur alur adalah suspense. Artinya, alur cerita yang baik hendaknya menimbulkan suspense, yakni ketidaktentuan harapan terhadap outcome ‘hasil’ suatu cerita. Suspense yang sebenarnya lebih banyak daripada masalah ketidaktahuan bagaimana segala sesuatu menjadi sampai atau selesai.
Suspense berkembang tatkala kita menjadi sadar terhadap suatu instabilitas yang bermula dalam suatu situasi.
Sarana yang dapat dipergunakan untuk melahirkan atau menciptakan suspense dalam cerita ialah foreshadowing ‘padahan’, yakni perkenalan atau pemaparan detail-detail
Keutuhan
Di samping ketiga hal yang sudah disebutkan di atas salah satu tuntutan yang terpenting bagi plot ialah unity ‘keutuhannya’. Jenis plot apapun yang memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang benar dan mengikuti kaidah-kaidah kemasukakalan, kejutan, dan suspense harus tetap memiliki keutuhan.
Ilustrasi di atas menujukkan bahwa apabila di dalam sebuah novel kita dapat adanya subplot, sesungguhnya terdapat dua kemungkinan yang terkait dengannya. Pertama subplot itu erat berjalinan dengan plot utamanya, dalm arti bahwa subplot tersebut merupakan analog terhadap plot utama. Kedua, kemungkinan bahwa dasar keutuhan karya yang mengandung subplot itu dapat diketemukan dalam salah satu elemen lain dari plot, misalnya dalam makna, tokoh, atau elemen struktural lainnya. Kemungkinan kedua inilah yang relevan dengan subplot yang terdapat dalam kubah. Akan tetapi, apabila tidak diperoleh satu pun di antara dua kemungkinan tersebut, novel yang bersangkutan dianggap memiliki cacat dalam plotnya karena tidak memiliki keutuhan. Walapun demikian, bukan berarti secara otomatis novel tersebut menjadi tidak berhasil sebagai karya fiksi yang baik
Fungsi Plot
Seperti tampak pada pembicaraan-pembicaraan di atas fungsi plot dalam keseluruhan struktur novel atau cerpen dapat menjadi sarana terpenting yang menciptakan keutuhan. Dalam mengorganisasikan peristiwa-peristiwa menjadi awal, tengah, dan akhir, penulis menyatakan pada atau menemukan dalam bahan mentah pengalaman sehingga pengertian tatanan atau urutan tersebut merupakan
Di saping itu, dalam kaitan ini, perlu pula disadari bahwa pengaluran dalam suatu cerita bukanlah suatu proses yang mekanis. Lagi pula, alur plot itu sangat penting untuk mengekspresikan makna suatu karya fiksi, baik makna yang bersifat mauatan, actual meaning, maupun makna yang bersifat niatan, intentional meaning. Melalui alur penulis mengorganisasikan bahan mentah pengalaman-pengalamannya, dan cara penulis mengorganisasikan pengalaman tersebut memberi tahu banyak kepada kita tentang makna pengalaman itu bagiannya
Dalam persepektif yang lebih luas, pengertian kita terhadap makna pengalaman erat berkaitan dengan pemahaman kita tentang “apa yang menyebabkan apa” dan untuk menjelaskan hubungan kausalitas tersebut memang merupakan tugas alur.
Jenis Plot
Berdasarkan hal-hal yang sudah diuraikan pada bagian-bagian di atas, kita dapat mengambil kesimpulan pula bahwa pada umumnya cerita bergerak melalui serangkaian peristiwa menuju klimaks setelah melampaui eksposisi dan komplikasi tententu dan berakhir pada penyelesaian atau pemecahan cerita secara logis.
Pada wal cerita pengarang melakukan eksposisi : memperkenalkan tokoh dan melukiskan keadaan tententu. Tokoh-tokoh mulai menujukkan perilaku tertentu, misalnya berhubungan antara satu dengan yang lainnya, sehingga lahirlah peristiwa dan konflik tententu. Dari titik ini peristiwa atau keadaan mulai menanjak masuk ke dalam komplikasi tertentu: persentuhan konflik, perbenturan antara kekuatan-kekuatan tertentu yang saling berlawanan. Komplikasi ini menanjak mencapai titik puncak tertinggi: klimaks, yang tidak dapat dipertinggi lagi.
Puncak kmplikasi yang tertinggi memerlukan penyelesaian atau pemecahan. Pada perkembangan titik ini pembaca disuguhi suatu pergumulan konflik dengan tegangnya yang terkuat, dan akhirnya meluncur menuju akhir : decounment
Akan tetapi, tidak semua fiksi akan berakhir dengan pemecahan dan tidak selamanya pula puncak merupakan titik balik komplikasi kepada penyelesaian. Hal ini berarti bahwa jenis plot atau alur cerita tidak tunggal. Ada sejumlah plot yang berbeda-beda apabila ditinjau dari segi yang berlainan pula.
Jika ditinjau dan segi penyusunan peristiwa atau bagian-bagian yang membentuknya, dikenal adanya plot kronologis atau progresif, dan plot regresif atau flash back atan backtracking atau sorot-balik. Dalam plot kronologis, awal cerita benar-benar merupakan “awal”, tengah benar-benar merupakan “tengah”, dan akhir cerita juga benar-benar merupakan “akhir” . hal ini berarti bahwa dalam plot kronologis, cerita benar-benar dimulai dari eksposisi, melampaui komplikasi dan klimaks yang berawal dari konflik tertentu, dan berakhir pada pemecahan atau denoument. Sebaliknya, dalam plot regresif, awal cerita bisa saja merupakan akhir, demikian seterusnya: tengah dapat merupakan akhir dan akhir dapat merupakan awal atau tengah
Dalam hubungan dengan jenis plot, perlu dikemukakan bahwa sangat jarang dijumpai adanya suatu cerita yang benar-benar mempergunakan plot yang murni kronologis atau murni regresif. Dalam kenyataannya, baik kronologis maupun regresif sering divariasikan dalam sebuah cerita. Sementara, teknik regresif atau sorot-balik yang dipakai didalamnya pun bermacam-macam, misalnya dengan teknik cakapan tokoh, teknik mengenang masa lalu tokoh, atau dengan teknik-teknik lain yang dimungkinkan seperti solilokui, mimpi, dan monolog interior.
Jika ditinjau dan segi akhir cerita dikenal adanya plot terbuka dan plot tertutup. Di dalam plot tertutup, pengarang memberikan kesimpulan cerita kepada pembacanya, sedangkan dalam plot terbuka cerita sering dan biasanya berakhir pada klimaks, dan pembaca dibiarkan untuk menentukan apa yang (diduga dan mungkin) akan menjadi penyelesaian cerita: akhir cerita dibiarkan menggantung atau menganga
Di dalam plot tertutup, pembaca berada di bawah wibawa pengarang, hak pembaca disudutkan pada satu arah yang ditunjukkan oleh pengarang,. Artinya, kesimpulan yang diambil pembaca siyarat-isyarat yang juga telah disampaikan pengarang dalam tubuh cerita itu. Hal ini berbeda dengan plot terbuka: pembaca lebih memiliki kebebasan dalam menentukan kesimpulan cerita, yang seringkali banyak bergantung pada kapasitas, pengetahuan, dan sikap serta minat pembaca dalam memahami cerita.
Jika ditinjau daris egi kuantitasnya, dikenal adanya plot tunggal dan plot jamak. Suatu cerita dikatakan berplot tunggal apabila cerita tersebut hanya memiliki atau mengandung sebuah plot dan plot itu bersifat primer (utama). Plot tunggal biasanya terdapat dalam cerpen pada umumnya. Sementara itu, cerita dikatakan berplot jamak apabila cerita itu memiliki lebih dari sebuah plot dan plot-plot utamanya juga lebih dari sebuah. Akan tetapi, plot-plot utama dalam cerita yang berplot jamak seringkali bersinggungan pada titik tertentu.
Jika ditinjau dan segi kualitasnya, dikenal adanya plot rapat dan plot longgar. Sebuah cerita dinyatakan berplot rapat apabila plot utama cerita itu tidak memiliki celah yang memungkinkan untuk disisipkan plot lain. Sebaliknya, cerita yang dinyatakan berplot longgar apabila ia memiliki kemungkinan adanya penyisian plot lain. Hanya saja, dalam kaitan ini perlu disadari bahwa dalam cerita yang berplot longgar biasanya sisipan plot lain, yang biasanya merupakan sub plot
Hakikat Tokoh
Apabila struktur cerita atau plot merupakan elemen fiksi yang fundamental sehingga sering disebut sebagai jiwa fiksi, aspek tokoh dalam fiksi pada dasarnya merupakan aspek yang lebih menarik perhatian. Dalam membaca atau menganalisis suatu karya fiksi, kita sering tidak butuh mempertanyakan apa yang kemudian terjadi, tetapi kita sering mempertanyakan “peristiwa yang terjadi kemudian itu menimpa siapa.”
Dalam kaitannya dengan tokoh dan apabila kita berpikir analogis, apakah karakter atau tokoh dalam fiksi juga artifisial karena juga merupakan ciptaan sang pengarang. Jika di dalam kehidupan ini tidak ada plot, orang-orangnya atau tokoh-tokoh tertentu pasti ada. Oleh karena itu, kita cenderung untuk mengaharapkan agar orang-orang atau tokoh-tokoh dalam fiksi “mirif” dengan orang-orang dalam kehidupan yang sesungguhnya. Dan apabila kita menyatakan bahwa seorang tokoh fiksi bersifat artifisial, seringkali pernyataan tersebut mengandung unsur penolakan terhadap tokoh itu. Akan tetapi, betapapun tingginya derajat artifisialitas seorang tokoh dalam fiksi, kita hampir selalu bersedia untuk tetap memperhitungkan tokoh tersebut dalam keberadaannya dalam plot.
Ada beberapa hal yang layak untuk dikemukakan dalam kaitannya dengan pernyataan bahwa tokoh fiksi harus atau hendaknya lifelike. Apakah arti lifelike pada saat kita menyatakannya? Jenis kehidupan yang bagaimanakah atau yang manakah yang seharusnya dimiripi oleh seorang atau beberapa tokoh fiksi? Jika tokoh-tokoh harus memiliki dimensi-dimensi orang yang kita tetahui, apakah ini tidak berarti ada keterbatasan kreativitas dan daya cipta pengarang?
Yang perlu kita sadari ialah bahwa jika kita mempermasalahkan tokoh-tokoh fiksi harus seperti diri kita sendiri atau seperti orang-orang yang kita kenal, kita tidak hanya membatasi imajinasi penulis yang notabene merupakan wilayah pribadi yang tak seorang pun kuasa menggugatnya tetapi agaknya kita juga sudah mulai mengabaikan fungsi tokoh dalam cerita. Oleh karena itu ukuran lifelikeness yang kita bicarakan sebaiknya dipahami sebagai suatu relevansi atau bentuk hubungan tententu.
Pada dasarnya terdapat dua cara untuk membentukan relevansi kehadiran tokoh. Pertama, seorang tokoh dinyatakan relevan dengan kita atau dengan pengalaman kita apabila karakter tokoh itu seperti diri kita atau seperti orang lain yang kita ketahui. Dalam konteks ini, lifelikeness dapat dipahami sebagai salah satu bentuk relevansi. Jadi, suatu karakter tokoh menjadi relevan apabila banyak orang yang menyukainya di dunia yang sesungguhnya.
Jenis Tokoh
Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yakni tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh periferal atau tokoh tambahan (bawahan). Karena acapkali sebuah fiksi melibatkan beberapa tokoh, perlu bagi kita untuk pertama kali menentukan tokoh sentralnya.
Biasanya tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa dalam cerita. Peristiwa atau kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap dalam diri tokoh dan perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap tokoh tersebut. Jelasnya tokoh utama atau tokoh sentral suatu fiksi dapat ditentukan paling tidak dengan tiga cara. Pertama, tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema, kedua, tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. Ketiga, tokoh itu yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan.
Tokoh yang sederhana atau datar ialah tokoh yang kurang mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisinya saja. Yang termasuk dalam kategori tokoh sederhana atau data adalah semua tipe tokoh yang sudah biasa, yang sudah familiar, atau yang stereotip dalam fiksi. Ciri bahwa seorang tokoh dapat dikategorikan ke dalam steriotip tertentu ialah bahwa watak tokoh tersebut dapat dirumuskan dalam suatu formula (pernyataan) yang sederhana, misalnya “orang biadab yang berhenti lembut”, “gadis pekerja yang miskin tetapi jujur”, dan seterusnya. Akan tetapi dalam kaitan ini, perlu disadari bahwa tidak semua tokoh yang sederhana atau data merupakan tokoh yang stereotip.
Tokoh yang kompleks atau tokoh bulat ialah tokoh yang dapat dilihat semua sisi kehidupannya. Dibandingkan dengan tokoh datar, tokoh bulat lebih memiliki sifat lifelike karena tokoh itu tidak hanya menunjukkan gabungan sikap dan onsesi yang tunggal. Apabila salah satu ciri tokoh datar ialah dapat dirumuskan atau diringkaskan dalam sebuah formula yang sederhana. Ciri tokoh bulat ialah bahwa dia mempu memberikan kejutan kepada kita. Akan tetapi, kejutan ini tidak layak jika muncul sebagai akibat pelanggaran atau penyimpangan plausibilitas.
Cara Penggambaran Tokoh
Persoalahan seorang pengarang tidak hanyak dalam hal memilih jenis tokoh yang akan disajikan dalam cerita, tetapi juga dengan cara apakah ia akan menyajikan tokoh ciptaannya. Dalam hubungan ini, dikenal sejumlah cara yang sering dapat dipergunakan, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya. Ada yang membedakan cara-cara yang sering dipakai itu menjadi cara analitik dan dramatik, ada yang membedakannya menjadi metode langsung dan tak langsung, ada yang membedakannya menjadi metode telling ‘uraian’ dan showing ‘ragaan’, dan ada pula yang membedakannya menjadi metode diskursif, dramatik, kontekstuat, dan campur. Pembedaan yang menggunakan istilah yang berlainan itu sesungguhnya memiliki esensi yang kurang lebih sama.
Metode Diskursif
Pengertian metode atau cara analitik dan langsung kurang lebih sama dengan metode diskursif. Pengarang yang memilih metode diskursif hanya menceritakan kepada kita tentang karakter tokohnya. Oleh karena itu, istilah telling ‘uraian’ pun pengertiannya sejajar dengan metode diskursif. Dengan metode ini pengarang penyebutkan secara langsung masing-masing kualitas tokoh-tokohnya.
Kelebihan metode itu terletak pada kesederhanaan dan sifat ekonomisnya. Pengarang yang cukup puas bercerita langsung kepada pembaca tentang tokoh dapat dengan cepat menyelesaikan tugas penokohan dan terus mengerjakan hal-hal lain
Salah satu kelemahan metode ini ialah sifat mekanisnya di samping menciutkan partisipasi imajinatif pembaca. Pembaca seakan-akan tidak diberi kebebasan atau tidak diberanikan untuk menanggapi tokoh-tokoh yang dihadapinya secara langsung sesuai dengan persepsinya, seperti tatkala pembaca harus menanggapi dan memutuskan penilaiannya terhadap orang-orang yang dijumpai dalam kehidupan yang sesungguhnya. Dalam metode ini pembaca tersudut oleh pengaruh dan wibawa pengarang, seakan-akan tidak ada alternatif lain: setiap pembaca akan memilih dan menolak hal yang sama.
Metode Dramatis
Disebut metode dramatis karena tokoh-tokoh dinyatakan seperti dalam drama. Pengarang membiarkan tokoh-tokoh untuk menyatakan diri mereka sendirimelalui kata-kata, tindakan-tindakan, atau perbuatan mereka sendiri. Dengan pengertian semacam itu, metode tak langsung dan metode showing ‘ragaan’ sudah tercakup dalam metode dramatis.
Pada sisi yang berseberangan dengan metode diskursif, metode dramatis memiliki kelemahan karena kurang ekonomis. Untuk meragamkan akan memerlukan ruang yang lebih panjang atau waktu yang lebih lama daripada untuk menguraikan secara langsung. Kalaupun metode dramatis membuat partisipasi aktif pembaca lebih terbuk, metode ini juga membuka peluang bagi pembaca untuk berbuat salah atau tidak tepat dalam menafsirkan dan menilai tokoh. Akan tetapi tentu saja hal tersebut tidak akan terjadi pada pembaca
Pemakaian metode dramatis untuk menggambarkan watak tokoh dapat dilakukan dengan baik dalam berbagai teknik, yaitu :
1) teknik naming “pemberian nama tertentu”;
2) teknik cakapan;
3) teknik penggambaran pikiran tokoh atau apa yang melintas dalam pikirannya;
4) teknik stream of consciousness “arus kesadaran”;
5) teknik pelukisan perasaan tokoh;
6) teknik perbuatan tokoh;
7) teknik sikap tokoh;
8) teknik pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap tokoh tertentu;
9) teknik pelukisan fiksi; dan
10) teknik pelukisan latar
di dalam teknik cakapan tercakup ragam duolog dan dialog. Duolog adalah cakapan anatara dua tokoh saja, sedangkan sialog ialah kata-kata yang diucapkan para tokoh dalam percakapan antara seorang tokoh dengan banyak tokoh. Berikut ini contohnya.
Yang berikutnya ialah teknik arus kesadaran. Teknik ini merupakan cara penceritaan untuk menangkap dan melukiskan warna-warni perkembangan karakter, yakni ketika persepsi bercampur dengan kesadaran atau setengah kesadaran, dengan kenangan dan perasaan. Teknik stream of consciousness ini mencakup ragam cakapan batin yang berupa monolog dan solilokui. Ragam monolog ialah cakapan batin yang seolah-olah menjelaskan kejadian-kejadian yang sudah lampau, peristiwa-peristiwa, dan perasaan yang sudah terjadi, dan mungkin pula menjelaskan kejadian-kejadian yang sednag terjadi. Raham solilokui merupakan cakapan batin yang mengisyaratkan hal-hal, tindakan-tindakan kejadian-kejadian, perasaan, dan pemikiran yang masih akan terjadi atau mendasari pikiran yang akan datang. Perhatikan kutipan berikut ini
Berikutnya adalah pelukisan watak dengan menggunakan teknik perbuatan tokoh. Tindakan, perilaku, dan perbuatan tokoh dapat membawa kita kepada pemahaman tentang watak dan sifatnya, kepada karakter yang sesungguhnya.
Teknik pelukisan pandangan seorang atau banyak tokoh terhadapa tokoh lain banyak pula digunakan pengarang untuk melukiskan karakter tokoh dalam karyanya. Dalam kaitan ini, kecermatan pembaca dalam menganalisis sangat dibutuhkan karena sangat boleh jadi bahwa apa yang dikatakan oleh tokoh X misalnya tentang tokoh Y, dapat mencerminkan tentang tokoh X lebih banyak daripada tentang tokoh Y itu, sendiri. Oleh karena itu, informasi semacam itu tidak secara otomatis menjelaskan tokoh yang sedang menjadi pusat perhatian kita. Pada titik inilah antara laian pentingnya analisis terhadap tokoh fiksi dilakukan secermat-cermatnya sebelum kita menyimpulkan karakter tokoh tertentu.
Karena sifat dan watak dasar manusia dapat dilihat dari wujud fisiknya, teknik lingkungan fisik juga sering dipergunakan dalam fiksi untuk melukisakan watak dan sifat tokoh-tokoh tertentu. Dalam kaitan ini, pengarang dapat menyatakan secara langsung wujud fisik tokoh-tokohnya, dan dapat pula memulai mata dan pandangan tokoh lainnya.
Teknik pelukisan latar juga sering dipakai untuk menggambarkan tokoh karena latar sering pula dapat menunjukkan tokoh dan karena latar merupakan lingkungan yang hakikatnya dapat dilihat sebagai perluasan diri tokoh.
Yang terakhir ialah teknik naming, ‘pemberian nama’ untuk melukisakan karekter tokoh tertentu. Pilihan nama tokoh tertentu memang dapat mengisyaratkan tokoh itu memiliki sifat dan watak tertentu karena seringkali nama tertentu mengisyaratkan asal-usul pekerjaan, dan derajat sosialnya. Dengan demikian, karakter tokoh pun dapat dipahami walaupun sebagian dan tidak menjamin seluruhnya benar melalui namanya.
Metode Kontekstual
Cara ini sesungguhnya mirip jika tiadak boleh dikatakan sama dengan teknik pelukisan latar. Dikatakan demikian karena yang dimaksud dengan melalui konteksverbal yang mengelilinginya. Dalam kaiatan ini kiranya karakterisasi dalam pengakuan pariyem linus suryadi dapat dijadikan contoh.
Penujukkan dan pengembangan tokoh
Pembicaraan tentang cara-cara penggambaran karakter tokoh dalam fiksi yang sudah dikemukakan mengarahkan kita kepada pandangan bahwa solah-olah tugas pengarang hanya menunjukkan atau meragakan karakter tokohnya kepada kita.
Motivasi tokoh dalam fiksi dibedakn menjadi dua, yakni yang bersifat umum dan yang khusus. Dalam sifatnya yang umum, motivasi mencakup dorongan manusia yang paling mendasar seperti cinta, kelaparan, ketamakan, dan hal-hal yang sejenis dengannya. Motivasi khusus melibatkan penerapan yang bersifat individual dari dorongan-dorongan mendasar tersebut. Jika Karma dalam kubah bertindak danberusaha menarik simpati rifah, sesungguhnya hal itu merupakan suatu motivasi khusus yang merupakan penerapan motivasi umum, yakni cinta
Elemen fiksi yang menunjukkan kepada kita di mana dan kapan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung disebut setting ‘latar’. Ada pula yang menyebutnya landas tumpu, yakni lingkungan tempat peristiwa terjadi. Dengan demikian, yang termasuk di dalam latar ini ialah tempat peristiwa terjadi. Dengan demikian, yang termasuk di dalam latar ini tempat atau ruang yang dapat diamati, seperti di sebuah desa, di kampus, di dalam penjara, di rumah, di kapal, dan seterusnya; waktu, hari, tahun, musim, atau periode sejarah, seperti di zaman
Deskripsi Latar
Secara garis besar deskripsi latar fiksi dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yakni latar tempat, latar waktu, dan latar sosial . latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah geografis latar waktu berkaitan dengan masalah historis, dan latar sosial berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan.
Latar tempat menyangkut deskripsi tempat suatu peristiwa cerita terjadi, misalnya latar tempat dalam kubah, yang menunjuk latar pedesaan perkotaan, atau latar tempat lainnya. Melalui tempat terjadinya peristiwa diharapkan tercermin pemerian tradisi masyarakat, tata nilai, tingkah laku, suasana, dan hal-hal lain yang mungkin berpengaruh pada tokoh dan karakternya.
Latar waktu mengacu pada saat terjadinya peristiwa, dalam plot, secara historis. Melalui pemerian waktu kejadian yang jelas, akan tergambar tujuan fiksi tersebut secara jelas pula. Rangkaian peristiwa tidak mungkin terjadi jika dilepaskan dan perjalanan waktu, yang dapat berupa jam, hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan zaman tertentu yang melatar belakanginya.
Latar sosial merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat seorang atau beberapa orang tokoh dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya, statusnya dalam kehidupan sosialnnya dapat digolongkan menurut tingkatannya, seperti latar sosial bawah atau rendah latar sosial
Karakter tokoh. Akan tetapi jika banyak pengarang yang begitu memperhatikan deskripsi latar dalan fiksinya untuk mengedepankan karakter tokoh merupakan suatu kenyataan yang tak boleh diabaikan begitu saja. Dalam kaitan ini, uraian mengenai teknik penggambaran tokoh melalui pelukisan latar yang sudah dikemukakan pada bagian terdahulu berikut contohnya dapat kita perhatikan kembali.
Uraian-uraian tentang latar yang sudah dikemukakan diatas mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa paling tidak terdapat empat elemen unsur yang membentuk latar fiksi
Pertama, lokasi geografis yang sesungguhnya, termasuk di dalamnya topografi, secenery ‘pemandangan’ tertentu bahkan detail-detail interior sebuah kamar ruangan.
Kedua, pekerja dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari
Ketiga, waktu terjadinya action ‘tindakan’ atau peristiwa termasuk periode historis, musim, tahun dan sebagainya
Fungsi Latar
Ada beberapa fungsi yang dpat ditempati oleh latar dalam fiksi, misalnya latar sebagai metafora, latar sebagai atmosfer dan latar sebagai pengedepanan (foregrounding).
Latar sebagai Metafora
Pembicaraan tentang latar yang sudah dikemukakan di atas masih terbatas pada masalah penyajian latar seperti apa adanya. Bahkan apa yang telah kita sebut sebagai latar spirintual tidak secara mendasar melibatkan efek-efek literal (seperti adanya) yang terkait dengan waktu dan tempat yang mungkin dimiliki oleh tokoh dan peristiwa yang ditimbulkannya . dengan kata lain, latar mungkin pula mengandung extra-literal elements. Dalam sebuah fiksi kadang-kadang kita jumpai detail-detail latar yang berfungsi sebagai suatu proyeksi atai objektifitas keadaan internal tokoh-tokohnya atau kondisi spiritual tertentu. Misalnya latar dalam cerpen seribu kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam. Dalam cerpen itu tampak bahwa Umar Kayam mempergunakan latar sebagai ungkapan metafotik, sangat efisien, misalnya pengarang baru menyebut kota “Manhattan” tatkala Marno, tokoh cerpennya, merasa seolah-olah istrinyalah yang ada di dekatnya.
Latar sebagai Atmosfer
Fungsi latar selanjutnya, yang berkaitan erat tetapi tidak sama dengan fungsi metaforik, ialah untuk menciptakan atmosfer. Atmosfer fiksi merupakan suatu hal yang lebih banyak berhubungan dengan apa yang disarankan dapipada apa yang dinyatakan. Oleh karena itu, sulit bagi kita untuk mendefinisikan, walaupun tidak memuaskan, atmosfer sering dibatasi sebagai udara yang hirup pembaca tatkala memasuki dunia fiksional.
Fungsi latar sebagai metafora dan fungsinya sebagai atmosfer berhubungan erat, dan terkadang sulit dipisah-pisahkan. Misalnya saja contoh latar Ronggeng Dukuh Paruk yang sudah dikemukakan di atas. Di samping sebagai metafora bagi kehidupan di Dukuh Paruk berikut keyakinan orang-orangnya, “gumpalan cahaya” yang sebenarnya atau tawa itu telah memberikan harapan tertentu kepada pembaca.
Latar sebagai pengendepanan
Seperti halnya tokoh yang akhirnya membentukl fiksi tokohan, alur atau plot yang akhirnya membentuk fiksi aluran, latar pun dapat menjadi elemen fiksi yang menonjol dan paling penting dlaam suatu cerita tertentu atau bahkan bagi pengarang tertentu
Pengedepanan elemen latar dalam fiksi dapat berupa penonjolan waktu dam dapat pula berupa penonjolan tempat saja. Dalam banyak fiksi, waktu terjadinya peristiwa atau action tertentu adalah sangat penting. Seperti dalam karya-karya yang sudah disebutkan di atas, geger Oktober 1965
Hakikat Judul
Pada hakikatnya judul merupakan hal yang pertama dibaca oleh pembaca fiksi. Judulmerupakan elemen lapisan luar suatu fiksi. Oleh karena itu, ia merupakan elemen yang paling mudah dikenali oleh pembaca. Kita biasanya mengaharapkan agar judul suatu fiksi menjadi acuan yang sejalan dengan cerita secara keseluruhan. Walaupun demikian, jika banyak judul yang tampil tanpa mewakili suatu acuan yang jelas perlu kita sadari pula.
Ada yang beranggapan bahwa judul seharusnya memberikan gambaran makna suatu cerita. Oleh karena itu, biasanya judul dapat mengacu pada sejumlah elemn struktural lainnya. Artinya, judul suatu karya bertalian erat dengan elemen-elemen yang membangun fiksi dari dalam. Dalam kaitan ini, mungkin sekali judul mengacu pada tema mengacu pada latar, mengacu pada konflik, mengacu pada tokoh, mengacu pada simbol cerita, mengacu pada atmosfer, mengacu pada akhir cerita dan sebagainya.
Gaya dan Nada
Hakikat Gaya dan Nada
Gaya dan nada sebagai bagian dari sarana penceritaan dalam fiksi memiliki hubungan yang erat. Sumbangan gaya yang paling utama ialah untuk menciptakan tone ‘nada’ cerita. Dalam kaitan ini dapat dikatakan bahwa gaya merupakan sarana, sedangkan nada merupakan tujuan
Gaya merupakan cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang. Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabial dibandingkan dengan gaya pengarang lainnya karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa gaya adalah orangnya: gaya pengarang adalah suara-suara pribadi pengarang yang terekam dalam karyanya
Secara sederhana, gaya dapat didefinisikan sebagai cara pemakaian bahasa yang spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, dalam arti itu semua pengarang memiliki gaya masing-masing
Secara ringkas, unsur-unsur yang membangun gaya seorang pengarang meliputi diksi, imajeri dan sintaksis. Diksi secara sederhana dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dilakukan oleh pengarang. Dalam kaitan ini, kata yang dilakukan oleh pengarang. Dalam kaitan ini, pengertian mengenai denotasi dan konotasi tidak boleh diabaikan. Denotasi sebuah kata ialah arti kata yang sesuai dengan kamus, sedangkan konotasi merupakan arti yang dengan kamus, sedangkan konotasi merupakan arti yang diasosiasikan atau disaranknnya. Denotasi adalah arti lugas dan konotasi arti kias.
Diksi sangat erat kaitannya dengan emajeri karena sebuah kata atau serangkaian kata tertentu dapat menciptakan suatu imaji tertentu. Dalam hubungan ini, imajeri diartikan sebagai kata atau serangkaian kata yang dapat membentuk gambaran mental atau dapat membangkitkan pengalaman tertentu. Imajeri merupakan kumpulan imaji dalam keseluruhan karya fiksi atau dalam setiap bagian karya fiksi yang signifikan.
Imaji dalam fiksi dibedakan menjadi imaji literal dan imaji figuratif. Yang pertama merupakan imaji yang tidak menyebabkan perubahan atau perluasan arti kata-kata, sedangkan yang kedua yang sering disebut sebagai majas atrau pigura bahasa merupakan imaji yang harus dipahami dalam beberapa arti. Jelasnya, suatu imaji disebut figuratif jika imaji itu memungkinkan adanya perubahan atau perluasan arti kata. Contoh yang paling terkenal sebagai imaji figuratif adalah kata mawar dalam ungkapan “Cintaku bagaikan setangkai mawar, mawar yang merah”.
Salah satu jenis imaji yang paling mendasar dalam fiksi adalah simbol. Gagasan dan perasaan seringkali tidak dapat terwakili dengan mudah melalui sebuah atau serangkaian kata, walapun kehadiran kata atau serangkaian kata tersebut sangat jelas. Untuk itu, dipergunakanlah simbol, yakni sesuatu yang jelas, konkret, dan nyata yang mampu menggugah gagasan dan perasaan dalam diri pembaca. Kata simbol sering diidentikan dengan tanda atau lambang, dan dapat berbentuk apapun, misalnya sebuah benda, benda tertentu yang dimunculkan secara berulang-ulang, suatu bentuk, suatu gerak, warna, bau, bagian tubuh, dan sebagainnya.
Dengan fiksi, biasanya simbol dapat menimbulkan efek-efek tententu. Simbol yang muncul pada suatu saat yang penting dalam cerita yang muncul pada suatu saat yang penting
Dan hal itu tidak boleh diabaikan oleh pembaca; simbol yang diulang dalam beberapa konteks peristiwa memberikan efek memperjelas tema cerita. Simbol dalam fiksi dapat mengacu pada elemen-elemen strukturalnya, misalnya mengacu pada tema, tokoh, latar, dan elemen lainnya.
Unsur ketiga yang membentuk wujud verbal karya sastra dan menentukan gaya seorang pengarang adalah suintaksis, yakni cara pengarang menyusun kalimat-kalimat dalam karyanya. Bagaimana karakteristik panjang-pendeknya, proporsi sederhana-majemuknya, misalnya, merupakan aspek-aspek sintaksis yang penting
Diatas sudah dikemukakan bahwa salah satu fungsi gaya yang penting ialah kontribusinya untuk menciptakan tone ‘nada’ dalam fiksi. Istilah ini sering disamakan dengan “suasana”, yakni suatu hal yang dapat terbaca dan terasakan melalui penyajian fakta cerita dan sarana sastra yang terapdu dan koheren. Suasana merupakan salah satu unsur pendukung cerita yang penting juga karena pembentukan suasana yang baik akan membantu tercapainya sasaran pesan pengarang. Suasana cerita dapat berkisar pada, misalnya saja suasana yang bersemangat, religius, romantis, melankolis, menegangkan, mencekam, tragis, mengharukan, wajar, dan menjijikan.
Dalam bahasa tulis seperti dalam karya fiksi nada merupakan kualitas gaya yang memaparkan sikap pengarang terhadap masalah yang dikemukakan dan juga terhadaop pembaca karyanya. Apakah kita akan menerima atau menolak sikap pengarang, bergantung pada sikap kita pula, yang jelas sikap pengarang tersebut dipaparkan kepada kita melalui nada karya fiksinya. Nada itu sendiri bergantung kepada gaya, yakni bagaimana pengarang memperlakukan bahasa yang menjadi sarananya. Dalam kaitan ini gaya bahasa yang dipergunakan pengarang, meskipun barangkali tidak bersifat luar biasa, bersifat unik karena, disamping dekat dengan watak dan jiwa pengarang, juga membuat bahasa yang digunakannya memiliki nuansa tertentu: ada gradasi makna dan keakrabannya. Hal demikian itulah yang akan menjadi
Dalam pengertian yang paling sederhana, tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Istilah tema sering disamakan pengertiannya dengan topik, padahal kedua istilah ini memiliki pengertian yang berbeda. Topik dalam suatu karya adalah pokok pembicaraan, sedangkan tema merupakan gagasan sentral. Yakni sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam dan melalui karya fiksi. Wujud tema dalam fiksi, biasanya, ber[angkal pada alasan tindak atau motif tokoh.
Antara tema dan ,oral cerita, walaupun seirng dipergunakan bersama-sama dan sering pula dalam pengertian yang kurang lebik indentik, sesungguhnya tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang sama. Moral cerita biasanya dimaksudkan sebagai sepotong saran moral yang bersifat agak praktis yang dapat diambil dari suatu cerita.
Penjelasan berikut contoh di atas menunjukkan bahwa antara tema dan moral cerita tidaklah sama. Akan tetapi, jika tema diartikan sebagai sesuatu yang dapat diambil dari suatu cerita, seperti yang diyakini oleh banyak pakar satra, dalam pengertian tersebut tema memiliki kemiripan dengan moral cerita. Hanya saja tema dapat jauh lebih kompleks daripada moral dan ia pada hakikatnya dapat tidak memiliki nilai langsung sebagai advice ‘saran’ bagi pembaca. Akhirnya dapat pula dikatakan bahwa moral cerita merupakan salah satu di antara jenis-jenis tema yang paling sederhana, sedangkan tidak semua tema yang ada dalam fiksi merupakan moral. Dalam kaitan ini tema lebih tepat dikatakan sebagai actual meaning ‘makna muatan’ dan moral cerita atau amanat sebagai intentional meaning ‘makna niatan’.
Tema lebih merupakan sebagai sejenis komentas terhadap subjek atau pokok masalah, baik secara ekplisit maupun implisit. Jadi di dalam tema terkandung sikap pengarang terhadap subjek atau pokok cerita.
Akhirnya jika tema bukan moral cerita bukan subjek, dan bukan pula makna terselubung yang diilustrasikan oleh cerita, maka tema adalah makna tetapi tidak terselubung dan tidak diilustrasikan. Tema adalah makna yang dilepaskan oleh suatu cerita atau makna yang ditemukan oleh dan dalam suatu cerita. Ia merupakan implikasi yang penting bagi suatu cerita secara keseluruhan, bukan sebagian dari suatu cerita yang dapat dipisahkan.
Pemahaman pengalaman yang dapat kita harapkan dari karya fiksi tidaklah identik dengan yang dapat kita harapkan dari filsafat atau sains. Filsafat dan sains memberikan pengalaman-pengalaman yang abstrak, sedangkan fiksi memberikan pengalaman yang konkret karena fiksi memberikan makan pengalaman melalui bentuk. Tema fiksi benar-benar dilahirkan dalam pengamatan konkret fiksional. Oleh karena itu, di samping fungsinya memberi kontribusi bagi elemen struktural lain seperti plot, tokoh dan latar fungsi tema dalam fiksi yang terpenting ialah menjadi elemen struktural lain seperti plot, tokoh, dan latar fungsi dalam fiksi yang terpenting ialah menjadi elemen penyatu terakhir bagi keseluruhan fiksi. Arti pengarang menciptakan dan membentuk plot, membawa tokohnya menjadi ada, baik secara sadar maupun tidak, eksplisit maupun implisit, pada dasarnya merupakan perilaku responsifnya terhadap tema yang telah dipilih dan telah mengarahkannya.
Jenis Tema
Tema fiksi umumnya diklasifikasikan menjadi lima jenis yakni physical ‘jasmaniah’, organic ‘moral’, social ‘sosial’ egoic ‘egoik’, dan divine ‘ketuhanan’. Tentu tema fiksi masih dapat diklasifikasikan dengan cara selain ini, misalnya tema tradisional dan tema modern. Klasifikasi di atas lebih merupakan pembagian yang didasarkan pada subjek atau pokok pembicaraan dalam fiksi.
Tema jasmaniah merupakan tema yang cenderung berkaitan dengan keadaan jasmani seorang manusia. Tema jenis ini terfokus pada kenyataan diri manusia sebagai molekul, zat, dan jasad. Oleh karena itu, tema percintaan termasuk ke dalam kelompok tema ini. Fiksi-fiksi populer yang banyak melibatkan tokoh-tokoh remaja yang sedang mengalami fase ‘berbicara’ merupakan contoh fiksi yang cenderung menampilkan tema jasmaniah. Tema organic diterjemahkan sebagai tema tentang ‘moral’ karena kelompok tema ini mencakup hal-hal yang berhubungan dengan moral manusia yang wujudnya tentang hubungan antar manusia, atar pria-wanita. Tema sosial meliputi hal-hal yang berada di luar masalah pribadi, misalnya masalah politik, pendidikan, dan propaganda. Tema egoik merupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya
Penafsiran
Dalam upaya menemukan dan menafsirkan tema karya fiksi, terdapat sejumlah kriteria, yang sifatnya tentatif, yang dapat dipakai sebagai pegangan.
Pertama, penafsiran itu hendaknya mempertimbangkan tiap detail cerita yang tampak terkedeppankan (foregrouded). Kriteria ini merupakan kriteria utama. Jadi tugas pertama yang harus dilakukan oleh pembaca dalam rangka mengendali tema prosa fiksi ialah menentukan atau menemukan pengedepanan atau tonjolan itu. Melalui detail-detail yang ditonjolkan itu pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan pengarang diekspresikan. Kesulitan yang mungkin timbul dalam hubungan ini ialah dalam hal menemukan atau menentukannya, apalagi jika karya fiksi yang bersangkutan relatif panjang dan sarat berada di sekitar persoalan utama yang dipertimbangkan sebagai penyebab munculnya konflik yang dihadapi oleh tokoh utama. Dengan kata lain, jaringan antara tokoh-masalah-konflik utama merupakan unsur yang paling strategis yang sering dimanfaatkan oleh pengarang untuk menampilkan tema utama sebuah fiksi.
Kedua, penafsiran tema suatu karya fiksi hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detail cerita. Cerpen sebagai salah satu jenis prosa fiksi, pada hakikatnya merupakan sebuah sarana yang dipakai pengarang untuk mengungkapkan keyakinan, kebenaran gagasan, sikap, dan pandangan hidupnya.
Ketiga, penafsiran tema hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam karya fiksi yang bersangkutan. Tema cerita tidak dapat ditafsirkan hanya berdasarkan perkiraan, sesuatu yang dibayangkan ada dalam cerita atau informasi lain yang kurang dapat dipercaya. Cara menentukan tema seperti itu tidak dapat dipertanggungjawabkan karena tidak adanya dukungan bukti yang bersifat empiris, yang bersifat tekstual. Sering terjadi bahwa sejumlah pembaca membayangkan, dan jika dalam cerita tidak diketemukan harapannya itu mereka seolah-olah tetap memaksakannya sebagai sesuatu yang ditemui.
Keempat, penafsiran tema haruslah mendasarkan diri bukti yang secara langsung ada tau yang diisyaratkan dalam cerita. Kriteria ini makin memperjelas kriteria di atas. Penunjukkan tema sebuah cerita harus dapat dibuktikan melalui data-data atau detail-detail cerita yang terdapat dalam karya itu secara keseluruhan baik yang berupa bukti langsung maupun tidak langsung. Yang pertama misalnya, berupa kata-kata yang ditemukan di dalam karya, sedangkan yang kedau berupa penafsiran terhadap kata-kata itu. Dalam sebuah fiksi kadang-kadang dapat ditemukan adanya data-data tertentu, misalnya yang berupa kata-kata, kalimat, alinea, atau dialog-dialog yang dapat dipandang sebagai bentuk yang mencerminkan tema pokok karya yang bersangkutan.